Mengkaji Efektivitas Sanksi terhadap Pelanggaran Netralitas ASN dalam Pemilu
Reporter :
Kategori :
Perspektif

Rofiqoh Pebrianti, Anggota Bawaslu Provinsi Jambi/ foto: istimewa
Oleh : Rofiqoh Pebrianti*)
Keberpihakan Apartur Sipil Negara (ASN) pada proses pemilihan umum (Pemilu) akan berdampak serius pada terjadinya diskriminasi layanan, munculnya kesenjangan dalam lingkup ASN, berbagai benturan atau konflik kepentingan, dan ASN menjadi tidak profesional. Akan tetapi, di setiap momentum pemilu, hampir bisa dipastikan persoalan netralitas ASN ini masih menjadi momok dalam pergelaran demokrasi di Indonesia.
Melihat kondisi tersebut, terkadang muncul pertanyaan dalam benak kita, sejauh mana Efektivitas sanksi yang telah diatur dan diterapkan untuk menekan pelanggaran netralitas oleh ASN dalam ajang pemilihan umum? mengingat tahapan Pemilu dan Pemilukada tahun 2024 sudah mulai berjalan. Toh, pada hakikatnya tujuan sanksi adalah untuk memberikan efek jera terhadap pelaku perbuatan melanggar hukum.
Untuk mengurai efektivitas sanksi pelangaran netralitas ASN dalam Pemilu, maka pisau analisa kita akan mulai berkaca kepada pendapat Mardiasmo (2017: 134), bahwa efektivitas merupakan ukuran berhasil tidaknya pencapaian tujuan suatu organisasi mencapai tujuannya. Apabila suatu organisasi mencapai tujuan maka organisasi tersebut telah berjalan dengan efektif. Sedangkan sanksi menurut Kamus Hukum, diartikan sebagai akibat sesuatu perbuatan atau suatu reaksi dari pihak lain (manusia atau makhluk sosial) atau suatu perbuatan. Dimana tujuan sanksi menurut Hans Kelsen (2008) adalah untuk memberikan efek jera atas perbuatan melanggar hukum yang dilakukan dengan cara paksa yang telah ditetapkan oleh peraturan yang tertulis.
Berkaitan dengan netralitas ASN, sebenarnya ini telah diatur dalam berbagai peraturan, salah satunya dalam Pasal 2 huruf f dan penjelasannya di UU No. 5 Tahun 2014 dinyatakan tentang asas netralitas, bahwa setiap Pegawai ASN tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan siapapun. Lebih sepesifiknya, memang benar aparatur sipil Negara memiliki hak suara, namun dengan catatan tidak boleh aktif berpihak kepada peserta pemilu maupun pasangan calon pada pemilukada. ASN hanya diperbolehkan menentukan keberpihakannya dalam bilik suara pada saat melakukan pencoblosan. ASN tidak boleh aktif kampanye, baik di panggung maupun di pertemuan terbuka ataupun tertutup, baik mengkampanyekan diri sendiri maupun orang lain.
Namun, fakta di lapangan berbicara lain. Jumlah ASN yang banyak dan kewenangan yang dimiliki seorang pejabat ASN menjadi objek empuk bagi para peserta pemilu maupun pemilukada. Karena keterlibatan ASN diyakini akan mempengaruhi pendulangan suara yang signifikan. ASN dengan jumlah yang besar dan kewenangannya adalah target utama untuk memenangkan kontestasi.
Peraturan undang – undang Aparatur Sipil Negara dan undang – undang pemilu/pilkada melarang ASN untuk melakukan tindakan keberpihakan terhadap peserta pemilu /pilkada, namun penentuan karir ASN pemerintah daerah terletak pada Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) dalam hal ini adalah Gubernur/Bupati/Walikota yang merupakan atasan dari ASN pemerintah daerah yang juga merupakan peserta pilkada.
Data penanganan pelanggaran Bawaslu Provinsi Jambi saat pemilihan bupati dan walikota 2020 : terdapat 23 kasus pelanggaran netralitas ASN, paling tinggi di antara pelanggaran lainnya. Dan untuk data penanganan pelanggaran saat Pemilihan Gubernur Jambi tahun 2020 terdapat 10 kasus pelanggaran netralitas ASN.
Adapun modus- modus pelanggaran netralitas ASN antara lain: ASN mempromosikan diri sendiri atau orang lain; ASN meberikan dukungan melalui media sosial / massa; ASN sosialisasi bakal calon melalui APK; ASN berfoto bersama paslon dan mengikuti silaturahmi bersama paslon; dan, ASN melakukan pendekatan / mendaftarkan diri pada salah satu partai politik.
Ada pernyataan yang menarik dari salah satu oknum ASN jika ditanya mengapa tidak bersikap netral saja. “Kami ASN ini serba salah, bergerak salah, tidak bergerak juga salah. Karena jika tidak bergerak, kami ASN ini dianggap membela yang lainnya,” demikian oknum ASN. Menurut oknum ini, ASN akan dihadapkan pada situasi yang sangat sulit jika yang menjadi paslon adalah petahana.
Padahal, aturan – aturan mengenai netralitas ASN sudah cukup rigid dan lengkap. Misalnya terdapat pada Pasal 2 huruf f UU nomor 5 tahun 2014 tentang aparatur sipil Negara menyebutkan kewajiban ASN untuk bersikap netral dengan salah satu asas penyelenggaraan kebijakan dari manajemennya. Pasal 4 huruf d UU nomor 5 tahun 2014 tentang aparatur sipil Negara menyebutkan menjalankan tugas secara professional dan tidak memihak. Pasal 70 ayat undang- undang 10 tahun 2016 tentang Pilkada menyebutkan dalam kampanye, pasangan calon dilarang melibatkan gubernur dan wakil gubernur , Bupati dan wakil Bupati, walikota dan wakil walikota , pejabat Negara serta pejabat daerah ikut serta dalam kampanye dengan mengajukan izin kampanye sesuai dengan peraturan perundangan.
Lalu, juga ada dalam Pasal 71 undang – undang 10 tahun 2016 yang menyatakan Pejabat Negara, pejabat daerah , pejabat aparatur sipil negara , anggota TNI /POLRI dan Kepala Desa atau sebutan lain /Lurah dilarang membuat keputusan dan /atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon. Pasal 188 undang – undang 10 tahun 2016 menyebutkan Setiap pejabat Negara, pejabat aparatur sipil Negara, dan Kepala Desa atau sebutan lain/ Lurah yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 71, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 ( satu ) bulan atau paling lama 6 ( enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 600.000 ( enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp. 6.000.000,00 ( enam juta rupiah). Dan, Pasal 11 huruf C Peraturan pemerintah no 42 tahun 2004, yang mewajibkan PNS untuk menghindari konflik kepentingan pribadi, kelompok maupun golongan.
Melihat dari data penanganan pelanggaran dan aturan yang mengikat seorang ASN, dapat kita rumuskan sanksi pidana bagi ASN yang melanggar netralitas dilakukan oleh penegakan hukum terpadu ( Gakumdu) yang terdiri dari Bawaslu, kejaksaaan dan kepolisian. Pembuktian pelanggaran pidana pemilu pada ASN yang melanggar netralitas sulit dibuktikan karena proses pembuktian pelanggaran pidana pemilu yang singkat dan melibatkan 3 lembaga yaitu Bawaslu , kepolisian dan kejaksaan. Dan prinsip ultimum remediun bahwa hukum pidana hendaklah dijadikan upaya terakhir dalam hal penegakan hukum. ASN memiliki Komisi Aparatur sipil Negara ( KASN) yang memiliki kewenangan menegakkan didiplin ASN.
Pertanyaannya, apakah efektif sanksi pidana yang ditangani Gakumdu atau sanksi karir yang ditangani oleh KASN (tidak naik pangkat, tidak boleh memegang jabatan, mutasi atau pemecatan) bagi ASN yang melanggar netralitas, dibandingkan memberikan sanksi pidana? Mungkin ini perlu duduk bersama pihak –pihak terkait, yaitu Bawaslu selaku pengawas yang melaksanakan amanah UU, DPR selaku perumus Undang –undang, dan tentu juga komisi Aparatur Sipil Negara (KASN).
Sejatinya pemilu adalah pesta demokrasi yang harusnya berjalan dengan kegembiraan bagi rakyat dan semua pihak yang terlibat.
*) Penulis adalah anggota Bawaslu Provinsi Jambi
Berita Terbaru
Senin, 15 Agustus 2022 21:03
WIB
Bupati Kukuhkan 73 Anggota Paskibraka Kabupaten DharmasrayaBerita |
Kopi Juaro Senin, 15 Agustus 2022 11:18 WIB Kopi Juaro Rilis Kopi Bubuk Kemasan, Zayyan: Pilihan Kopi Terbaik untuk Rasa TerbaikBisnis |
Senin, 15 Agustus 2022 10:56
WIB
Rayakan HUT Pertama, Opinia Perdalam Algoritma PancasilaBerita |
Senin, 15 Agustus 2022 10:33
WIB
Peringatan Hari Pramuka ke-61 Berjalan Lancar, Sekda Minta Anggota Pramuka Terus Mengabdi Tanpa BatasBerita |
Lomba Lari Candi Muaro Jambi Minggu, 14 Agustus 2022 21:43 WIB Ini Link dan Jadwal Pendaftaran Lomba Lari Candi Muaro Jambi 10 KOlahraga |

Berita
Bisnis
Ragam
Zona
Inforial
Akademia
Perspektif
Oase
Telusur
Pustaka
Jejak
Sosok
Ensklopedia
Sudut
Profil
Sejarah
Redaksional
Hubungi Kami
Pedoman Media Siber
Disclaimer